ANTARA UJIAN NASIONAL DAN PARADIGMA TOLOK UKUR KELULUSAN SISWA Ujian Nasional selama ini telah menjadi bahan perbincangan permasalahan yang kontroversi. Disisi lain masih ada yang menyetujui, di lain pihak banyak juga yang menentang. Permasalahannya adalah dimanakah letak kesalahannya?. Ada salah satu pendapat yang berasal dari mantan wakil presiden Republik Indonesia yang mengatakan bahwa ujian nasional dianalogikan dengan prinsip bisnis atau dagang maka dalam hal ini siswa hasil pendidikan diibaratkan produk, dan apabila produk tersebut tidak sesuai standar maka produk tersebut dinyatakan jelek atau cacat atau gagal.
Kegagalan produk tersebut dianalogikan sebagai kegagalan pendidikan, tetapi tentunya hal yang berbeda dengan dunia pendidikan adalah karena pendidikan mempunyai nilai-nilai dari tujuan pendidikan itu sendiri karena manusia bukanlah seperti barang atau benda mati yang apabila gagal atau tidak berhasil bukan berarti manusia itu tidak mempunyai harapan untuk sukses. Manusia hasil pendidikan masih mempunyai nilai, karena menurut Howard Garner manusia itu memiliki 8 kecerdasan yang beragam (Multiple Inteligent) di dalam dirinya.
Bisa saja dia gagal dalam satu bidang tetapi lebih muncul dalam bidang lain. Karena di dalam diri setiap individu itu muncul inteleligensi dalam bentuk keahlian yang bebeda-beda yaitu bentuk keahlian verbal, keahlian matematika,keahlian spasial, keahlian tubuh-kinestetik, keahlian musik, keahlian intrapersonal, keahlian interpersonal, dan keahlian naturalis, bahkan baru-baru ini bahwa konsep kecerdasan emotional (emotional intelligence) sudah termasuk kedalam pengukuran kompetensi seseorang, yang apabila dijabarkan sama dengan pembentukan moral dan karakter siswa.
Apabila Ujian nasional bertujuan untuk mengecek sejauh mana keberhasilan kurikulum pada satuan pendidikan tertentu, maka apakah Ujian nasional cocok digunakan sementara kurikulum yang belaku pada tiap satuan pendidikan adalah KTSP? Akan tetapi apabila Ujian Nasional diselenggarakan dengan maksud untuk memeperbaiki struktur dan digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka hal tersebut syah-syah saja. Tetapi beban yang di tanggung siswa tentunya akan sangat berat apabila ujian nasional dijadikan tolok ukur kelulusan walaupun yang dipersyaratkan adalah standar minimal. Sebenarnya apa sih definisi dari standar tersebut sehingga ujian nasional merupakan standar nasional yang harus diikuti oleh setiap siswa dengan sama rata di seluruh pelosok negeri ini dan secara serentak dilakukan di seluruh sekolah di Indonesia yang notabene memiliki kemampuan dan potensi wilayah yang berbeda-beda?
Dikemukakan bahwa mutu pendidikan nasional negara kita berada jauh dari bangsa-bangsa lain bahkan dibandingkan dengan negara tetangga kita sendiri. Oleh karena itu dengan keinginan besar untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan nasional maka dilakukanlah langkah-langkah perbaikan yang dikenal dengan Undang-undang No.20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional yang anatara lain melalui Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005 yang menyatakan perlu adanya Standarisasi Pendidikan Nasional, namun yang menjadi polemik adalah mengenai Ujian Nasional yang dijadikan alat sebagai pelaksanaan Standarisasi Nasional.
Baiklah apabila kita kaji, standar adalah patokan. Sewaktu-waktu tingkat pencapaian standar tersebut tentu perlu diketahui sampai di mana kefektifannya, dengan demikian untuk mengetahuinya diperlukan sarana-sarana seperti ujian atau evaluasi nasional. Ujian nasional atau Evaluasi Nasional hendaknya tidak meliputi seluruh standar isi karena akan membutuhkan finansial yang tidak sedikit dan tenaga-tenaga yang banyak. Ujian nasional diselenggarakan sifatnya sekedar untuk memberikan gambaran mengenai peta pemasalahan pendidikan secara nasional apalagi Mata pelajaran pun yang dipilih hanya pada mata pelajaran-mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika.
Evaluasi nasional tidak harus diikuti oleh semua daerah, tetapi daerah-daerah tertentu saja yang akan dijadikan sampling dengan tujuan untuk memperoleh pemetaan masalah pendidikan, namun hasil tersebut tidak dapat dijadikan tolok ukur kelulusan seseorang dalam program atau tingkatan pendidikan tertentu. Data-data yang dihasilkan dari evaluasi nasional kemudian dianalisa dan dijadikan sebagai bahan untuk menyusun kembali langkah-langkah strategis dalam upaya melakukan perbaikan-perbaikan dalam menjalankan kebijakan pendidikan nasional.
Dengan demikian apakah hajat nasional berupa ujian nasional yang terstandarisasi sebagai mega proyek tahunan sudah cocok dengan profil pendidikan di Indonesia? Profil pendidikan di Indonesia memiliki disparitas yang kontras antar daerah, terutama di luar pulau Jawa, seperti Papua dan Maluku. Bahkan perbedaan pun terlihat mencolok diantara kabupaten/kota atau desa-desa yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
Dari perspektif tersebut, jelas nampaknya sulit bagi dunia pendidikan apabila standar nasional berupa ujian nasional yang digelar BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) atas perintah Kementrian pendidikan Nasional diaplikasikan secara seragam di seluruh Indonesia karena setiap daerah memiliki tingkat atau standarnya masing-masing. Contoh konkret, dengan menerapkan standar angka 5 sebagai syarat kelulusan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia akankah ini berlaku efektif diseluruh Indonesia mengingat di luar pulau Jawa seperti Papua dan Maluku, Bahasa Indonesia belum dikuasai secara merata sehingga memiliki diversitas sosiokultur dan kebahasaan, dan apabila pengukuran standar kelulusan sebatas pada kognitif peserta didik maka angka 5 untuk kelulusan Bahasa Indonesia tersebut merupakan kelemahan dari Ujian Nasional karena tidak mencerminkan perkembangan peserta didik selama bertahun-tahun belajar. Angka 5 untuk UN Bahasa Indonesia telah mengesampingkan aspek afektif dan aspek psikomotor.
Pendidikan adalah sarana untuk membentuk individu yang bukan hanya memiliki pengetahuan (kognitif) saja tetapi juga harus memiliki keahlian, keterampilan dan moral karakter yang baik yang bisa diaplikasikan di dalam kehidupannya sehari-hari.
Peserta didik yang mendapat nilai jeblok untuk Bahasa Indoesia bisa saja menjadi orang yang sukses karena memiliki talenta yang lain dalam kemampuan kebahasaan seperti kemampuan berbicara misalnya dan menjadi seorang presenter ataupun pembawa acara di sebuah stasiun radio. Ataupun, seorang anak yang tidak memiliki talenta berbicara namun dia mampu menuangkan keahlian verbalnya dalam bentuk tulisan dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik, bagus dan benar.
Dan sebaliknya anak yang mendapat nilai tinggi pada UN pun belum tentu memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang-bidang kebahasaan tersebut. Jadi inti permasalahannya adalah validitas dari angka 5 yang ditetapkan sebagai angka kelulusan mata pelajaran Bahasa Indonesia ini apakah sudah melalui uji kelayakan (feasible study)?.
Kutipan dari Brown, H Douglas (2004 : 112) It is not likely that standardized test promote logical-mathematical and verbal-linguistic intelligences to the virtual exclusion of the other contextualized, integrative intelligences? Only very recently have traditionally receptive tests begun to include written and oral production in their test battery-a positive sign. But is it enough? it is also clear that many otherwise smart people do not perform well on standardized test. They may excel in cognitive styles that are not amendable to a standardized format. Perhaps they need to be assesed by such performance-based evaluation as interviews, portofolios, samples of work, demonstration, and observation report?.
Jika diterjemahkan maka pengertiannya adalah : bahwa test terstandarisasi merupakan hal yang tidak mungkin jika test standar dapat meningkatkan kecerdasan logika matematika dan kecerdasan lingustik verbal dengan mengesampingkan virtual konteks lain, seperti kecerdasan integratif? Hanya baru-baru ini secara tradisional uji reseptif mulai memasukan produksi tertulis dan lisan kedalam serangkaian test tersebut, hal itu merupakan tanda yang positif. Apakah itu cukup? Hal yang juga terlihat jelas adalah bahwa banyak orang pintar dinyatakan tidak memiliki performa baik pada test standar.
Mereka mungkin unggul dalam gaya kognitif namun dalam hal itu tidak bisa dikembangkan ke format standar. Mungkin mereka perlu dianalisis oleh penilaian berbasis kinerja seperti wawancara, portofolio, contoh kerja, unjuk kerja/praktek, dan laporan pengamatan?. Pengertian menyangkut masalah kelulusan bahwa setiap indidvidu pada tingkat keterampilan dan keahlian berbahasa tidak dapat diukur semata-semata melalui test terstandar saja atau Ujian Nasional saja yang bentuk soalnya hanya terpaku pada test standar berbentuk test objektif ataupun isian, tetapi pengukuran kelulusan sebaiknya menyertakan hasil penilaian siswa selama kurun waktu pembelajaran. Akuntabilitas penilaian berdasarkan kinerja siswa/prestasi siswa dalam dunia pendidikan bisa dilaksanakan sebagai hasi proses belajar-mengajar berdasarkan kurikulum yang berlaku.
Tentunya apa yang harus diingat adalah bahwa penilaian berdasarkan pada ujian standar hanyalah mencakup aspek kognitif saja, dan penilannya dengan menggunakan alat-alat ukur yang bersifat objektif dan berskala luas, sementara aspek afektif dan psikomotor memerlukan penialan tersendiri yang relatif lebih rumit dan lebih subyektif daripada penialaian pada aspek kognitif. Kedua aspek itu yakni afektif dan psikomotor, dalam hal penilaian tentu merupakan tanggung jawab guru, sekolah dan masyarakat yang mengetahui realitas kompetensi/kemampuan dari siswa itu sendiri.
Dengan demikian apabila kita amati, tingkat kelulusan tidaklah sejalan dengan tingkat kemampuan. Kenaikan jumlah kelulusan tidak berarti berpengaruh pada kenaikan tingkat kemampuan seseorang, karena Kemampuan hanya bisa dinilai melalui uji kompetensi berdasarkan pada standar kompetensi yang berlaku. Sebaliknya, standar kelulusan hendaknya dibuat lebih rasional karena hasil test tidak dapat mewakili kemampuan yang dimiliki peserta test. Penilaian tingkat pencapaian peserta didik dapat dievaluasi melalui berbagai pengukuran/penilaian yang dapat mewakili hasil kemampuan yang dimiliki peserta didik.
Dalam dunia pendidikan, hal yang dilakukan dalam mengukur sejauh mana tingkat pencapaian siswa dikenal dengan beberapa istilah dalam evaluasi yang memiliki fungsi dan tujuannya sendiri, diantaranya yaitu assesmen. Assemen memiliki pengertian sebagai proses pengumpulan, penafsiran, dan sintesis informasi untuk membuat keputusan penentuan status peserta didik berkenaan dengan berbagai variasi pendidikan yang menjadi perhatian guru. Sementara istilah Testing digunakan pada saat test itu dilaksanakan, atau dapat juga dikatakan testing pada saat pengambilan test berlangsung.
Dalam buku Suarsimi Arikunto, dijelaskan (2009:3), penilaian adalah evaluasi yang berarti menilai (tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu), selanjutnya Arikunto menjelaskan bahwa pengertian evaluasi pendidikan selalu diakaitkan dengan prestasi belajar siswa. Definisi yang yang pertama dikembangkan oleh Ralp Tyler (1950). Ahli ini mengatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum dan apa sebabnya.
Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh dua orang ahli, yakni Cronbach dan Stufflebeam. Tambahan definisi tersebut adalah bahwa proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan. Jadi kesimpulannya adalah sebelum kita menyatakan siswa tersebut berhasil atau tidaknya maka harus dilakukan evaluasi / penilaian dan sebelum melakukan peniliaian, terlebih dahulu dilakukan pengukuran (measurement).
Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran, pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan Menilai adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk. Melakukan penilaian/pengukuran berarti melakukan kedua langkah tersebut yaitu mengukur dan menilai. Dengan demikian, sebenarnya yang mampu mengevaluasi peserta didik adalah guru itu sendiri karena evaluasi dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan dari mulai proses belajar sampai hasil belajar berdasarkan pada keadilan terhadap siswa itu sendiri.
Sementara dalam Ujian nasional yang diutamakan adalah hasil akhir bukan proses. Jelaslah permasalahannya terletak pada kesalahfahaman dalam menafsirkan Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa yang menentukan kelulusan siswa adalah sekolah dan guru.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka tidak diperlukan adanya Ujian Akhir Nasional. Namun, dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merupakan aplikasi dari UU Sisdiknas, yang dalam hal ini pemerintah berpendapat bahwa yang menentukan kelulusan siswa adalah Ujian Nasional. Apakah dengan angka kelulusan yang tinggi, mutu pendidikan juga meningkat? Sampai saat ini, tidak ditemukan adanya keterkaitan yang jelas antara pelaksanaan Ujian Nasional dengan peningkatan mutu pendidikan dan peningkatan kemampuan peserta didik. Untuk itu, karena evaluasi merupakan bagian dari proses pendidikan, maka keputusan yang akan diambil wajib mempertimbangkan nilai-nilai edukatif. Oleh karena itu, kontradiksi yang terjadi pada Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan Ujian Nasional tersebut perlu direvisi melalui berbagai penelitian-penelitan yang valid dan akuntabel.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Brown, H Douglas. (2004). Languaage Assessment Principles and Classroom Practice. New York: Pearson Education Inc. BSNP. (2011). Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional.Jakarta. Hamid, Hasan. (2008). Evaluasi Kurikulum. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Hidayat, Kosadi. (1994). Evaluasi Pendidikan dan Penerapan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung: CV alfabet. http://smachara.com/blog/?p=106#more-106 http://hismag.wordpress.com/2010/01/18/pro-kontra-un/ : Siapa Sudi Hentikan Ujian Nasional? Posted by lapsippipm on : Januari 18. 2010. Nurgiyantoro, Burhan. (2010). Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakrta: BPFE. Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005, tentang Standarisasi Pendidikan Nasional. Panduan Lengkap KTSP. (2007).Yogyakarta : Pustaka Yustisia. Santrock, John W. (2010). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasiona (2009)l. Jakarta: CV. Tamita Utama.
Posting Komentar
BUAT PEMBACA YANG BUDIMAN, SILAHKAN MENGISI KOTAK KOMENTARNYA.....
SALAM SILATUIRAHMI....