KEJAKSAN– Setiap kebijakan aturan bukan tanpa risiko, termasuk lahirnya perda pelarangan minuman meralkohol (mihol) hingga nol persen. Langkah hukum yang dilakukan pengusaha miras yang akan menggugat perda tersebut, diyakini akan sia-sia. Apalagi pemkot yakin akan didukung oleh masyarakat.
Kepala Bagian Hukum Pemkot Cirebon, Yuyun Sriwahyuni SH mengatakan sejak awal sudah ada pembicaraan tentang berbagai kemungkinan yang terjadi. Termasuk di dalamnya gugatan hukum yang dilayangkan pengusaha. Namun apa pun itu bentuknya, kata dia, pemkot telah pasang badan untuk mengamankan kebijakan yang telah menjadi produk hukum. “Kami siap amankan kebijakan pimpinan,” tegas Yuyun.
Tujuan awal keberadaan perda pelarangan mihol hingga nol persen, sambung dia, untuk memberikan kenyamanan dan rasa tentram bagi masyarakat Kota Cirebon. Terlebih, Kota Cirebon dikenal sebagai kota Wali dan pusat penyiaran Islam di Jawa Barat pada era Sunan Gunung Jati. Jika akhirnya gugatan itu masuk ke ranah peradilan atau hukum, Yuyun mempersilakan.
Dijelaskan Yuyun, tahapan dalam gugatan biasanya diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk yudisial review atau peninjauan kembali. Setelah ada gugatan yang masuk, MA akan meminta penjelasan dan klarifikasi dari pemkot atas gugatan yang diajukan tersebut. Untuk tahapan itu, Pemkot Cirebon telah memiliki alasan yang diyakini bisa dikabulkan MA. Yakni kearifan dan budaya lokal yang bernuansa religius. “Ini selaras dengan visi wali kota (Religius, Aman, Maju, Aspiratif, dan Hijau/RAMAH, red),” tukasnya.
Disadari, dalam perda pelarangan miras yang baru ditetapkan kemarin, ada pasal yang krusial untuk digugat. Yakni pasal peralihan. Sebab, 18 pengusaha itu telah mengantongi izin dan masih berlaku. Namun, pemkot tetap berusaha untuk menerapkan perda pelarangan miras agar berjalan dengan baik. “Ada kepentingan khusus yang harus diutamakan. Kenyamanan dan ketentraman masyarakat Kota Cirebon,” tegas perempuan berkerudung itu. Karena itu, pemkot membutuhkan dukungan seluruh elemen masyarakat agar perda pelarangan miras ini berjalan baik sesuai fungsinya.
Sementara, wakil rakyat yang masuk pansus perda mihol, Cecep Suhardiman SH MH, mempersilakan pengusaha mengajukan gugatan. Hal itu, ucapnya, sudah diprediksi pada saat pembahasan hingga pengesahan. Pemkot dan DPRD sudah mempersiapkan diri dengan segala risiko yang akan ditanggung. Selama ini, belum ada perda pelarangan miras di kota/kabupaten mana pun yang dianggap kalah dalam gugatan hukum. Hanya saja, ada perintah untuk memperbaiki norma hukumnya yang terkandung dalam perda pelarangan miras. Cecep menambahkan, seluruh elemen terkait sudah melakukan tahapan dan membuat aturan terbaik untuk Kota Cirebon. Namun, jika ada yang merasa tidak puas, dia mempersilakan untuk menempuh jalur yang disediakan.
Terkait Keppres Nomor 3 tahun 1997 tentang Peredaran Minumal Beralkohol, tidak ada ketersinggungan dengan perda pelarangan miras di Kota Cirebon. Dikatakan Cecep, perda pelarangan miras di Kota Cirebon tidak melanggar ketentuan keppres tersebut. Pasalnya, dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pedoman Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan, dalam pasal 7 disebutkan, keppres tidak termasuk dalam hirearki perundang-undangan.
Sementara itu, para pengusaha yang tergabung dalam Forum Pekerja Tempat Hiburan (FPTH) akan melakukan gugatan pada perda pelarangan pelarangan minuman beralkohol yang baru disahkan belum lama ini. Saat menggelar konferensi pers di daerah Lemahwungkuk, sejumlah pengusaha menilai keberadaan perda tersebut bertentangan dengan keputusan presiden tentang pengaturan minuman beralkohol.
“Kami berencana mengirimkan nota keberatan dan melakukan gugatan atas keberadaan perda ini. Karena keberadaannya bertentangan dengan aturan di atasnya yaitu keputusan presiden,” ujar Rukmana, salah satu anggota FPTH. Tidak hanya itu, kata dia, keberadaan perda pelarangan peredaran minuman beralkohol ini juga dirasa sangat merugikan para pengusaha tempat hiburan. Karena, sejak disahkannya perda tersebut, pendapatan usaha mengalami penurunan rsekitar 20-30 persen.
Selain itu, Rukmana juga menyesalkan sikap pemerintah dan DPRD karena dalam pembahasan aturan tersebut, pihak pengusaha tidak pernah dilibatkan. “Dalam pembahasannya, kita tidak pernah dilibatkan. Kami tahu saat diparipurnakan saja. Padahal kami memiliki keterlibatan dalam penjualan minuman beralkohol,” lanjutnya. Di sisi lain, lanjut dia, bila perda ini benar-benar diterapkan, sedikitnya 1.000 pekerja akan kehilangan pekerjaan. Senada, pekerja lainnya, Yudis, menilai pengesahan perda pelarangan minuman beralkohol adalah salah satu upaya cari selamat eksekutif dan legislatif dari desakan golongan tertentu. “Mereka cari selamat, padahal seharusnya tidak boleh seperti itu,” ujarnya. Penetapan perda tersebut, kata dia, justru akan menumbuhkan penjual-penjual minuman beralkohol yang liar. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan banyak pedagang miras oplosan, yang justru lebih berbahaya. “Seharusnya bukan pelarangan, tapi pengaturan titik penjualan minuman beralkohol,” tukasnya. (ysf/kmg)
Kepala Bagian Hukum Pemkot Cirebon, Yuyun Sriwahyuni SH mengatakan sejak awal sudah ada pembicaraan tentang berbagai kemungkinan yang terjadi. Termasuk di dalamnya gugatan hukum yang dilayangkan pengusaha. Namun apa pun itu bentuknya, kata dia, pemkot telah pasang badan untuk mengamankan kebijakan yang telah menjadi produk hukum. “Kami siap amankan kebijakan pimpinan,” tegas Yuyun.
Tujuan awal keberadaan perda pelarangan mihol hingga nol persen, sambung dia, untuk memberikan kenyamanan dan rasa tentram bagi masyarakat Kota Cirebon. Terlebih, Kota Cirebon dikenal sebagai kota Wali dan pusat penyiaran Islam di Jawa Barat pada era Sunan Gunung Jati. Jika akhirnya gugatan itu masuk ke ranah peradilan atau hukum, Yuyun mempersilakan.
Dijelaskan Yuyun, tahapan dalam gugatan biasanya diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk yudisial review atau peninjauan kembali. Setelah ada gugatan yang masuk, MA akan meminta penjelasan dan klarifikasi dari pemkot atas gugatan yang diajukan tersebut. Untuk tahapan itu, Pemkot Cirebon telah memiliki alasan yang diyakini bisa dikabulkan MA. Yakni kearifan dan budaya lokal yang bernuansa religius. “Ini selaras dengan visi wali kota (Religius, Aman, Maju, Aspiratif, dan Hijau/RAMAH, red),” tukasnya.
Disadari, dalam perda pelarangan miras yang baru ditetapkan kemarin, ada pasal yang krusial untuk digugat. Yakni pasal peralihan. Sebab, 18 pengusaha itu telah mengantongi izin dan masih berlaku. Namun, pemkot tetap berusaha untuk menerapkan perda pelarangan miras agar berjalan dengan baik. “Ada kepentingan khusus yang harus diutamakan. Kenyamanan dan ketentraman masyarakat Kota Cirebon,” tegas perempuan berkerudung itu. Karena itu, pemkot membutuhkan dukungan seluruh elemen masyarakat agar perda pelarangan miras ini berjalan baik sesuai fungsinya.
Sementara, wakil rakyat yang masuk pansus perda mihol, Cecep Suhardiman SH MH, mempersilakan pengusaha mengajukan gugatan. Hal itu, ucapnya, sudah diprediksi pada saat pembahasan hingga pengesahan. Pemkot dan DPRD sudah mempersiapkan diri dengan segala risiko yang akan ditanggung. Selama ini, belum ada perda pelarangan miras di kota/kabupaten mana pun yang dianggap kalah dalam gugatan hukum. Hanya saja, ada perintah untuk memperbaiki norma hukumnya yang terkandung dalam perda pelarangan miras. Cecep menambahkan, seluruh elemen terkait sudah melakukan tahapan dan membuat aturan terbaik untuk Kota Cirebon. Namun, jika ada yang merasa tidak puas, dia mempersilakan untuk menempuh jalur yang disediakan.
Terkait Keppres Nomor 3 tahun 1997 tentang Peredaran Minumal Beralkohol, tidak ada ketersinggungan dengan perda pelarangan miras di Kota Cirebon. Dikatakan Cecep, perda pelarangan miras di Kota Cirebon tidak melanggar ketentuan keppres tersebut. Pasalnya, dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pedoman Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan, dalam pasal 7 disebutkan, keppres tidak termasuk dalam hirearki perundang-undangan.
Sementara itu, para pengusaha yang tergabung dalam Forum Pekerja Tempat Hiburan (FPTH) akan melakukan gugatan pada perda pelarangan pelarangan minuman beralkohol yang baru disahkan belum lama ini. Saat menggelar konferensi pers di daerah Lemahwungkuk, sejumlah pengusaha menilai keberadaan perda tersebut bertentangan dengan keputusan presiden tentang pengaturan minuman beralkohol.
“Kami berencana mengirimkan nota keberatan dan melakukan gugatan atas keberadaan perda ini. Karena keberadaannya bertentangan dengan aturan di atasnya yaitu keputusan presiden,” ujar Rukmana, salah satu anggota FPTH. Tidak hanya itu, kata dia, keberadaan perda pelarangan peredaran minuman beralkohol ini juga dirasa sangat merugikan para pengusaha tempat hiburan. Karena, sejak disahkannya perda tersebut, pendapatan usaha mengalami penurunan rsekitar 20-30 persen.
Selain itu, Rukmana juga menyesalkan sikap pemerintah dan DPRD karena dalam pembahasan aturan tersebut, pihak pengusaha tidak pernah dilibatkan. “Dalam pembahasannya, kita tidak pernah dilibatkan. Kami tahu saat diparipurnakan saja. Padahal kami memiliki keterlibatan dalam penjualan minuman beralkohol,” lanjutnya. Di sisi lain, lanjut dia, bila perda ini benar-benar diterapkan, sedikitnya 1.000 pekerja akan kehilangan pekerjaan. Senada, pekerja lainnya, Yudis, menilai pengesahan perda pelarangan minuman beralkohol adalah salah satu upaya cari selamat eksekutif dan legislatif dari desakan golongan tertentu. “Mereka cari selamat, padahal seharusnya tidak boleh seperti itu,” ujarnya. Penetapan perda tersebut, kata dia, justru akan menumbuhkan penjual-penjual minuman beralkohol yang liar. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan banyak pedagang miras oplosan, yang justru lebih berbahaya. “Seharusnya bukan pelarangan, tapi pengaturan titik penjualan minuman beralkohol,” tukasnya. (ysf/kmg)
Posting Komentar
BUAT PEMBACA YANG BUDIMAN, SILAHKAN MENGISI KOTAK KOMENTARNYA.....
SALAM SILATUIRAHMI....